Sejarah Cengkih, Biji Pala dan Bunga Pala jadi rebutan bangsa asing

Rempah-rempah seperti cengkih, biji pala dan bunga pala berasal dari sekelompok pulau-pulau kecil di Indonesia namun memiliki dampak yang dramatis dan menjangkau hingga jauh di dunia perdagangan. Di zaman dahulu, rempah-rempah ini populer sebagai obat-obatan di India dan Tiongkok, dan merupakan komponen utama makanan Eropa pada periode abad pertengahan. Negara-negara Eropa bertikai hebat demi kontrol atas perdagangan rempah.

A. Sejarah Alam

Nama cengkih (cloves) merujuk pada kuncup yang masih tertutup dan kering pada pohon hijau abadi, Syzygium caryophyllata dari keluarga myrtus. Cengkih adalah tanaman asli dari lima pulau vulkanik kecil di Kepulauan Hindia Timur: Ternate, Matir, Tidore, Makian dan Bacan, yang semuanya termasuk dalam Kepulauan Maluku atau Moluccas.

Biji pala adalah biji berwarna coklat kemerahan yang berada di dalam buah Myristica fragrans, dari keluarga Myristicaceae. Biji ini dikelilingi oleh jaring-jaring membran tebal berwarna merah pekat, atau aril yang merupakan bunga pala. Pohon pala merupakan tanaman asli yang tumbuh di lembah terlindung yang panas di Pulau Banda di wilayah Maluku di Indonesia.

B. Cengkih di Zaman Dahulu

Cengkih pertama kali disebutkan dalam literatur Tiongkok dari Periode Han, sekitar abad ke-3 SM. Rempah yang disebut hi-sho-hiang (“lidah burung”) pertama kali digunakan sebagai penyegar nafas; para pejabat di istana diharuskan untuk meletakkan cengkih di dalam mulut mereka sebelum berbicara dengan penguasa. Cengkih lebih banyak digunakan sebagai obat daripada sebagai bahan masakan. Cengkih dianggap herba penghangat internal yang membantu menghilangkan dingin dan menghangatkan tubuh. Cengkih digunakan sebagai tonik dan stimulan dan diresepkan sebagai pelancar pencernaan dan antiseptik. Cengkih digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit meliputi gangguan usus, impotensi, diare, muntah-muntah, dan kolera. Cengkih juga dibuat menjadi salep untuk mengatasi puting pecah-pecah, sengatan kalajengking, sakit gigi, dan hampir semua abses yang menimbulkan rasa sakit.

C. Cengkih menjadi populer dalam pengobatan

Cengkih juga memainkan peran penting dalam masyarakat india kuno, meski tiba beberapa abad lebih belakangan daripada Tiongkok. Cengkih menjadi populer dalam pengobatan Ayurweda tradisional dan digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti masuk angin, asma, gangguan pencernaan, muntah-muntah, sakit gigi, radang tenggorokan, tekanan darah rendah dan impotensi. Dalam teks Sanskekerta kuno, Charaka Saṃhita (abad ke-1 Masehi), dikatakan bahwa “bagi seseorang yang menginginkan nafas yang bersih, segar dan wangi harus menaruh biji pala dan cengkih di dalam mulutnya” (Dalby, 50).

Penulis Roma, Plinius Tua (23-79 Masehi) adalah yang pertama mendeskripsikan cengkih di Barat dalam tulisannya Natural History (70 Masehi) di mana ia mencatat bahwa “terdapat di India sebuah biji-bijian yang mirip lada tapi lebih besar dan lebih rapuh, bernama caryophyllom, yang dilaporkan tumbuh di pohon lotus India; diimpor ke sini karena aromanya” (Dalby, 50). Dikatakan bahwa kaisar Roma, Konstantin Agung (memerintah 306-337 Masehi) mempersembahkan wadah-wadah emas dan perak yang berisi dupa dan rempah-rempah, termasuk 150 pon (68 kg) cengkih kepada Santo Silvester, uskup Roma (314-335 Masehi). Pada abad ke-5 Masehi, tabib Yunani Paul dari Aegina menulis: “Ini adalah sifat suatu bunga dari suatu pohon, berkayu, hitam, hampir setebal jari; terkenal aromatic, asam, agak pahit, panas dan kering pada tingkat ketiga; amat baik untuk penyedap dan resep obat lain” (Dalby, 50). Dalam karyanya, Dua Belas Buku tentang Obat-Obatan, tabib Bizantium terkenal, Alexander dari Tralles merekomendasikan cengkih untuk mengatasi mabuk laut, encok dan penambah nafsu makan.

D. Biji Pala dan Bunga Pala di Zaman Dahulu

Biji dan bunga pala sering disebut dalam tulisan-tulisan Hindu tertua di India, Weda, ditulis sekitar tahun 1500 dan 1000 SM. Biji pala direkomendasikan untuk menigkatkan pencernaan dan diresepkan untuk sakit kepala, masalah saraf, demam karena masuk angin, bau nafas tidak sedap, dan masalah pencernaan. Teks-teks India yang belakangan mendeskripsikan biji pala sebagai obat penting untuk keluhan jantung, sakit paru-paru, asma, sakit gigi, disentri, perut kembung dan rematik.

Biji dan bunga pala tiba di Tiongkok jauh lebih belakangan daripada di India; referensi pertama akan sesuatu yang mungkin adalah biji pala tidak muncul hingga abad ke-3 dalam Nanfang Caomu Zhuang (Catatan tentang Tanaman dan Pohon-Pohon di Selatan) karya Ji Han. Dalam catatan tersebut, ia menyebutkan suatu rempah yang harum yang berasal dari sebuah pohon yang bunganya memiliki warna seperti teratai. Biji pala tidak banyak disebut dalam literature Tiongkok hingga abad ke-8 ketika digunakan untuk mengobati diare, disentri, sakit perut dan kembung, hilang nafsu makan, dan gangguan pencernaan.

Biji dan bunga pala tidak dikenal di Barat hingga abad ke-5 atau ke-6 Masehi. Plinius adalah yang pertama menulis tentang sebuah pohon yang ia sebut comacum, yang memiliki biji berbau harum , namun tidak diketahui pasti apakah ia benar-benar sedang berbicara tentang biji pala. Pada abad ke-1 Masehi, seorang tabib Yunani, Dioscorides juga samar-samar mengacu pada buah berkulit merah yang tidak diketahui asalnya bernama macir. Referensi jelas pertama tentang biji dan bunga pala tidak ditemukan hingga teks medis Bizantium pada abad ke-6 yang mengacu pada kulit merah, macis (mace atau bunga pala) dan biji (nut) beraroma, nux muscata (nutmeg atau biji pala).

E. Biji Pala, Bunga Pala & Cengkih dalam Pengobatan Arab & Masakan

Studi obat-obatan adalah fokus utama dari para sarjana Islam. Pada abad ke-9 dan menuju ke abad ke-10, Harun ar-Rashid dari Kekhallifan Abassiyah dan putranya mengumpulkan tulisan-tulisan pengobatan Yunani dan teks-teks ilmiah lain dari seluruh dunia beradab. Semua ini kemudian dibawa ke Perpustakaan Agung di Baghdad, “Rumah Kebijaksanaan”, di mana seluruh teks medis Yunani, termasuk seluruh karya Galen, Oribasius, Paul dari Aegina, Hippocrates dan Dioscorides diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Berdasarkan studi mereka, para tabib Islam percaya bahwa penyakit adalah akibat dari ketidakseimbangan tubuh, dan ketidakseimbangan ini bisa dipulihkan jika makanan mengandung keseimbangan yang tepat akan herba dan rempah-rempah yang meliputi biji pala dan cengkih. Rempah-rempah ini memainkan peran penting pada teks-teks medis abad ke-9 yang ditulis oleh tabib Arab yang terkenal, Ishak ibn Imran. Karyanya, ditulis dalam bahasa Arab dan diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani, Latin dan Spanyol, menjadi fondasi kurikulum medis di abad pertengahan Eropa.

Orang-orang Arab adalah yang pertama kali banyak menggunakan cengkih dan biji pala sebagai bahan masakan. Faktanya, rempah-rempah sangat dihargai di Timur Tengah karena aromanya dan khasiatnya sebagai obat, juga sebagai penguat rasa dalam makanan. Herodotus, penulis, ahli geografi dan sejarawan Yunani kuno, menulis pada abad ke-5 SM mengenai rempah-rempah Arabia yaitu “seluruh negeri semerbak karena wanginya, dan menguarkan bau yang amat manis” (The Histories, Buku III). Seorang Irak bernama Ibn Sayyar al-Warrag menuliskan cengkih berulang kali dalam karyanya pada abad ke-10, Kitab al-Tabikh (Buku tentang Memasak), buku memasak berbahasa Arab yang paling awal. Dalam karyanya yang paling dihormati, Al-Qanun fi al-Tib (Kaidah Kedokteran, 1025), Ibn Sina merekomendasikan “tiga perdelapan dram biji pala dengan sedikit jus buah quince” untuk “perut yang lemah”, dan ia mendeskripsikan biji pala sebagai ramuan anestesi yang ampuh. Cengkih dan biji pala memaikan peran yang penting dalam buku resep Suriah abad ke-13 yang populer, Kitab al-Wuslah ila l-Habib dan dalam buku resep Andalusia anonim.

F. Biji Pala, Bunga Pala & Cengkih dalam Masakan Eropa

Sebelum abad ke-12, praktik medis di Eropa jauh tertinggal dari orang-orang Islam disebabkan sedikitnya riset yang dilakukan dan karena gereja abad pertengahan menganggap penyakit sebagai hukuman dari Tuhan, para dokter tidak dapat berbuat banyak untuk pasien mereka. Hingga akhirnya terjemahan baru, observasi dan metode-metode dari dunia Islam hadir maka illmu pengobatan barat mulai bergerak maju. Pengetahuan dan metode-metode dari dokter-dokter Islam membawa kemajuan baru bagi ilmu pengobatan Eropa, termasuk menyebarkan pengobatan penyakit menggunakan rempah-rempah.

Tidak begitu jelas kapan biji pala dan cengkih pindah dari lemari obat ke masakan Eropa, meski sifat ‘panas’ dan ‘lembab’ rempah-rempah ini sudah direkomendasikan selama berabad-abad untuk makanan musim dingin, menurut ajaran kuno Galen. Di tahun 716, raja Franka, Chilperic II, dikenal memberikan pengecualian pajak pada para biarawan dari Biara Corbie pada jatah rempah-rempah tahunan mereka yang terdiri dari 30 pon lada, lima kayu manis, dan dua cengkih. Terdapat catatan dari biara abad pertengahan St. Gall di Swiss bahwa pada abad ke-9 para biarawan menggunakan cengkih untuk membumbui ikan di masa puasa mereka. Pada abad ke-10, pengelana Andalusia, Ibrahim ibn Ya’qub mencatata bahwa warga Mainz (Jerman) menggunakan cengkih untuk membumbui makanan mereka. Saat raja dan ratu Skotlandia merayakan Maria Diangkat ke Surga di tahun 1256, makanan mereka dibumbui dengan jahe, lada dan kayu manis masing-masing 50 pon, 4 pon cengkih dan biji dan bunga pala masing-masing 2 pon. Pada pernikahan Duke of Bavaria-Landshut di tahun 1476, jamuan pesta membutuhhkan 205 pon kayu manis, 286 pon jahe dan 85 pon biji pala.


Sumber Informasi : worldhistory.org

Posting Komentar

0 Komentar