A. Pemberontakan PKI Madiun
Peristiwa Pembrontakan PKI Madiun 1948 merupakan
konflik politik yang bersumber S perbedaan tersebut dalam dalam kontek
pluralism, maka perbedaan ideologi menjadi kekuatan dalam membangun bangsa.
Begitu juga dengan perbedaan kepentingan, selama perbedaan kepentingan
disepakati sebagai dinamika dalam berpikir kritis dengan tetap bersepakat pada
mengutamakann kepentingan nasional, maka perbedaan kepentingan menjadi kekuatan
dalam berpikir kritis dalam membangun bangsa. Namun sebaliknya selama perbedaan
kepentingan dipandang sebagai kepentingan kelompok yang dipaksakan dengan
mengalahkan kepentingan nasional, maka perbedaan kepentingan menjadi bisa
sumber konflik.
PKI adalah partai politik
berhaluan kiri yang dalam sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari ZIndische Social Democratissche Vereeniging
(ISDV) atau (Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda), yang didirikan pada
tahun 1914 oleh Henk Sneevliet. Ia adalah seorang pemimpin sayap kiri Serikat
Buruh Kereta Api dan yang sebelumnya merupakan tokoh sayap kiri gerakan
sosialis, yang terpaksa hijrah ke Indonesia pada tahun 1913. ISDV sendiri pada
mulanya lahir dari keberadaan Sarekat Islam yang melarang anggotanya berideologi
ganda dalam perjuangan pergerakan Indonesia. Situasi tersebut membuat para
anggota yang beraliran komunis kecewa dan keluar dari Sarekat Islam, kemudian
mendirikan partai sendiri yang diberi nama ISDV. Selanjutnya pada Kongres ISDV
pada bulan Mei tahun 1920, nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis Hindia
(PKH), dengan Samuan sebagai ketuanya. Perlu dicatat di sini PKH merupakan
partai pertama di Asia, yang menjadi bagian dari Komunis International.
Kemudian pada tahun 1924 nama PKH diubah menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Pembrontkan PKI dilakukan oleh
PKI yang bergabung dengan Front Demokraksi Rakyat atau (FDR). FDR adalah sebuah
front persatuan partai-partai dan organisasi sayap kiri yang didirikan pada
tanggal bulan Februari 1948 oleh Amir Syarifudin. Organisasi yang tergabung
dalam FDR adalah Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis, Partai Buruh
Indonesia, SOBSI dan Persindo.
Pada saat bangsa Indonesia sedang
berjuang melawan Belanda, baik berjuang secara fisik melalui kekuatan
bersenjata maupun secara diplomasi, melalui perjanjian-perjanjian dengan pihak
Belanda, tiba-tiba PKI menelikung dari belakang dengan melakukan pembrontakan
di Madiun pada tahun 1948, peristiwa tersebut kemudian di kenal dengan nama
Pembrontakan PKI Madiun. Pembrontkan PKI dilakukan oleh PKI yang bergabung
dengan Front Demokraksi Rakyat atau (FDR). FDR adalah sebuah front persatuan
partai-partai dan organisasi sayap kiri yang didirikan pada tanggal bulan
Februari 1948 oleh Amir Syarifudin. Organisasi yang tergabung dalam FDR adalah
Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, SOBSI dan
Persindo.
Latar belakang pembrontakan PKI
Madiun, berawal dari jatuhnya Kabinet Amir Syariffudin. Sebagai Perdana Menteri
yang mewakili Indonesia dalam perjanjian Renville. Sejak penandatangan
perjanjian Renville, Amir Syarifudin tidak lagi mendapat dukungan dalam
kabinet. Selanjutnya dibentuk Kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai
Perdana Menteri. Pembentukan kabinet baru tidak disetujui oleh Amir Syarifudin
dengan kelompok sayap kiri lainnya, yang kemudian bergabung dalam FDR.
Sementara itu Muso seorang tokoh komunis dalam sidang Politibiro PKI pada
tanggal 13 Agustus 1948, menawarkan sebuah gagasan yang dikenal dengan nama
jalan baru untuk Republik Indonesia. Muso menghendakai partai kelas buruh
dengan memakai nama PKI. Untuk itu perlu dilakukan fusi tiga partai yang
beraliran Marxisme- Leninisme, yaitu PKI, Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai
Sosialis Indonesia (PSI), hasil fusi ini akan mempimpin revolusi proletariat
untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut “Komite Front Nasional”.
Untuk menyampaikan gagasannya Muso dan Amir Syarifudin berencana menguasai
daerah-daerah yang dianggap strategis yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan
melakukan aksi agitasi, demonstasi dan aksi-aksi pengacauan. Peristiwa Madiun
pecah pada 1948, ketika tentara di bawah Sukarno dan Hatta menyerang PKI, Aidit melarikan diri dari Jawa Tengah dan bersembunyi di
Jakarta – kota yang sudah sangat dikenalnya sejak ia menjadi aktivis nasionalis
pada pertengahan 1940-a (Rosa, 2008).
Di bawah pimpinan Muso PKI
berusaha meraih kekuasaan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk meraih kekuasaan
adalah dengan menarik partai dan berbagai organisasi untuk bergabung dengan
FDR. Mendorong melakukan demostrasi, pemogokan kaum buruh dan petani. Muso juga
memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah, dengan melakukan kritik atau
pernyataaan yang tidak menguntungkan, bahkan membahayakan strategi diplomasi
Indonesia melawan Belanda yang pada waktu itu ditengahi oleh Amerika Serikata
(AS) (Rosa, 2008). Pernyataan-pernyataan Muso lebih menunjukkan keberpihakannya
pada Uni Soviet, sementara Amerika Serikat dan Uni Soviet adalah dua Negara
berseiteru dalam Perang Dingin, Puncak dari upaya yang dilakukan oleh PKI
adalah melakukan pembontakan Senjata pada tanggal 18 September 1948 di Kota
Madiun. Bersmaan dengan itu pula diproklamirkan berdirinya “Republik Soviet
Indonesa” dan dibentuknya pemerintahan baru (Taufik Abdullah, 2012).
Upaya yang dilakukan pemerintah
dalam meredam aksi yang dilakukan PKI adalah dengan melakukan diplomasi dengan
pimpinan PKI Muso. Namun demikian upaya diplomasi menemukan jalan bantu.
Mengingat situasi pada saat itu sudah semakin memanas. Aksi yang dilakukan oleh
PKI pada awal pembrontakan adalah melakukan pembunuhan terhadap pejabat
pemerintah, tokoh-tokoh partai politik anti komunis dan juga membunuh kaum
santri. PKI juga melakukan tindakan penangkapan sewenang wenang terhadap
tokoh-tokoh yang berseberangan dengan PKI tidak segan-segan mereka membunuh dan
menembak lawan-lawan politiknya. Pembrontakan PKI Madiun akhirnya dapat
ditumpas oleh pasukan Divisi Siliwangi. Pembrontakan PKI Madiun dapat
dipadamkan dan pemimpim pemberontakan Muso tewas tertembak, sementara Amir
Syarifudin ditangkap dan jatuhi hukuman mati. Sedangkan tokoh-tokoh PKI muda
seperti Aidit dan Lukman berhasil melarikan diri dan pada saat itu PKI belum
dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
B. Pemberontakan DII/TII
Pembrontakan DII/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwirjo, pada awalnya hanya berlangusung di
Jawa Barat, kemudian menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, terutama Jawa Barat,
Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Kartosuwirjo
sendiri pada awalnya seorang pejuang melawan Belanda. Ia diangkat menjadi
sekretaris Masyumi Jawa Barat. Berawal dari hasil perjanjian Renville, sesuai
dengan perjanjian Renville, maka TNI harus meninggalkan daerah-daerah yang
dikuasasi Belanda. Sementara itu laskar Hisbullah dan Sabilillah di bawah
pengaruh Kartosuwirjo tidak bersedia pindah atau meninggalkan Jawa Barat,
bahkan mereka membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Bersama dengan TII,
kemudian Kartosuwirjo menyatakan pembentukan Darul Islam pada Agustus 1949
(Taufik Abdullah, 2012).
Pada saat pasukan Siliwangi
tersebut berhijrah, DII/TII dengan leluasa melakukan gerakannya dengan merusak
dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan
merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Kemudian
ketika pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat, Kartosuwirjo tidak mau mengakui
TNI, kecuali TNI bergabung dengan DII/TII. Itu artinya Kartosuwirjo tidak
mengakui pemerintah RI di Jawa Barat. Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah
desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara
Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya
diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini
dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang
sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan
perundingan Renville.
Usaha untuk menumpas pembrontakan
DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
(a) tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat
mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya, pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk, (c) pasukan
DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik
perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan, (d) Suasana Politik yang tidak
konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik yang telah
mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan (Djoened, 2010).
Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII,
pemerintah mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus
kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat
untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok
DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan
para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha
yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji
ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan setelah Sekarmadji meninggal,
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.
Pemberontakan DII/TII merupakan
pemberontakan yang hampir menyeluruh terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Berikut merupakan cakupan wilayah pemberontakan DI/TII.
C. Pemberontakan APRA
Salah satu dari hasil perjanjinan Konferensi Meja
Bundar adalah Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Pengakuan Indonesia sebagai Negara RIS, tidak sesuai dengan amanat UUD 1945
yang menyatakan bentuk Negara Indonesia adalah Negara Kestauan Republik
Indonesia, meskipun pengakuan sebagai Negara merupakan suatu proses untuk
kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat -
perangkat pemerintahan di Indonesia tidak setuju dengan bentuk negara federal
(Djoened,
2010). Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia
dengan bentuk negara federal. Keinginan-keinginan
yang berbeda ini menimbulkan banyak ketidakpuasan yang pada ujungnya
menimbulkan pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi
pada saat itu. Pemberontakan-pemberontakan ini dilakukan oleh golongan-
golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut
jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Angkatan Perang Ratu Adil atau
disebut APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia
diakui kedaulatannya oleh Belanda sebagai Negara RIS. Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA) di pimpinan oleh Kapten Raymond Westerling dan didalangi oleh golongan kolonialis
Belanda. Landasan yang mendorong gerakan APRA adalah kepercayaan rakyat
Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat
Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau
Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam
ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut
Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga
keadaan akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera. Selanjutnya
Westerling menghimpun rakyat dan mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda untuk
ikut bergabung menjadi bagian dari tentara APRA.
APRA sebenarnya sudah dibentuk
sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan. Pada bulan November 1949, dinas
rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan
organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang
diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan
bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang
melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari
temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay,
yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Tujuan Westerling membentuk APRA
ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu
dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara
Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di
Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS (Djoened,
2010).
Pemberontakan yang dilakukan oleh
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten KNIL Raymond
Westerling bukanlah
pemberontakan yang dilancarkan secara spontan,
tetapi telah direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan
bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda. Pada 25
Desember 1949 Westerling menghubungi Letnan Jenderal Buurman van Vreeden,
Panglima Tertinggi Tentara Belanda untuk menanyakan bagaimana pendapat van
Vreeden mengenai rencananya untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah
penyerahan kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden memang telah
mendengar berbagai rumor, antara lain ada sekelompok militer yang akan
mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan, tidak terkecuali rumor mengenai
pasukan yang dipimpin oleh Westerling. Jenderal van Vreeden yang bertanggung-jawab
atas kelancaran penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 tersebut memperingatkan Westerling agar tidak
melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari
1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah sebuah
ultimatum. Westerling menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara
bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA
sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif
terkait ultimatum tersebutdalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul
perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja
di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld,
Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di
Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang
membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker
menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan
militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950 Hatta
menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan
perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelumnya, ketika Lovink masih
menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk
mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Sementara
itu, Westerling mengunjung Sultan Hamid
II di Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949.
Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan
mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling
tersebut, namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling.
Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.
Pertengahan Januari 1950, Menteri
UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke
Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan
diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven,
bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika
berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari
1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang
sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu
unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari
1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal
Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok
rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Operasi penumpasan dan pengejaran
terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan gerakan mundur segera dilakukan
oleh TNI. Sisa pasukan Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan
anggota KNIL Batujajar dan polisi yang menuju Jakarta, pada 24 Januari 1950
dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar
Hutan Bakong dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4
pucuk senjata ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam
terjadi tembak -menembak di Kramatalaan No.29 Jakarta antara pauskan TNI dengan
geromboan yang diduga adalah deseteurs (anggota tentara yang melarikan diri
dari dinasi tentara). Tembak-menembak tersebut berlangsung sampai 25 januari
1950 pagi. Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30 pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan
pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat, termasuk beberapa
orang tokoh Negara Pasundan. Bagaimana dengan Wasterling? Setelah melarikan
diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. la
merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang
menghadiri sidang kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo,
dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Gerakan tersebut dapat digagalkan
dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi
anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat
segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri
pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya
Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.
D.
Pemberontakan
Andi Azis
Pemberontakan Andi Azis yang terjadi di Makassar
pada tahun 1950, dipimpin oleh Andi Aziz sendiri, seorang perwira mantan KNIL.
Di awali oleh adanya kekacauan yang berlangsung di Makassar, yakni adanya
demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT
supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi
sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Untuk
menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950
pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk
mengamankan daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai
mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok
masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan
Bebas” di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap bahwa masalah keamanan
di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Pada dasarnya pembrontakan
tersebut dilatar belakangi oleh keinginan Andi Aziz dengan gerombolannya ingin
mempertahankan Negara Indonesia Timur, Disamping di latar belakang pula oleh
penolakan masuknya TNI ke dalam bagian Angakaran Perang Republik Indonesia
Serikat. Tindakan yang dilakukan oleh Andi Aziz adalah menduduki tempat-tempat
penting, dan menawan Panglima Teritorium Indonesia Timur yaitu Letnan Kolonel
A.J. Mokoginata. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa latar belakang
pemberontakan Andi Azis adalah : (a) Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia
Timur hanya merupakan tanggung jawab pasukan bekas KNIL saja. (b) Menentang
campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat)
terhadap konflik di Sulawesi Selatan. (c) Mempertahankan berdirinya Negara
Indonesia Timur.
Pada tanggal 5 April 1950,
anggota pasukan Andi Azis menyerang markas Tentara Nesional Indonesia (TNI)
yang bertempat di Makassar, dan mereka pun berhasil menguasainya. Bahkan,
Letkol Mokoginta berhasil ditawan oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D
Diapri (Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh
Andi Azis dan ia digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21
April 1950, Sukawati yang menjabat sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa
NIT bersedia untuk bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Untuk menanggulangi pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Azis, pada tanggal 8 April 1950 pemerintah memberikan
perintah kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x 24 Jam ia harus melaporkan diri ke
Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan.
Untuk pasukan yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk
menyerahkan diri dan melepaskan semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim
pasukan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk melakukan operasi militer di
Sulawesi Selatan.
Tanggal 15 April 1950, Andi Azis
pergi ke Jakarta setelah didesak oleh Sukawati, Presiden dari Negara NIT. Namun
karena keterlambatannya untuk melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili
untuk mempertanggungjawab-kan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang
dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi
Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar
tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.
Pada Tanggal 26 April 1950,
anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang mendarat di daratan
Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak
berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang menunggu
peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Para anggota KL-KNIL memprovokasi
dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya bentrok antara pasukan KL-KNIL
dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara pasukan APRIS
dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada saat
itu sedang berada dalam kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya
peperangan antara pasukan KL-KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut
pasukan APRIS berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan
strategi pengepungan terhadap tentara-tentara KNIL tersebut.
Tanggal 8 Agustus 1950, pihak
KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak
menguntungkan lagi untuk perperang dan melawan serangan dari lawan. Perundingan
tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor
Jendral Scheffelaar dari pihak KL-KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun
setuju untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di
daerah Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus
meninggalkan Makassar.
Pada tanggal 30 Januari 1984
seluruh keluarga dari Andi Azis diselimuti oleh duka yang mendalam karena
kepergian sang Kapten, Andi Abdoel Azis. Di usianya yang sudah menginjak 61
Tahun, ia meninggal di Rumah Sakit Husada Jakarta karena serangan jantung yang
dideritanya. Andi Azis meninggalkan seorang Istri dan jenasahnya diterbangkan
dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan, lalu dimakamkan di pemakaman keluarga Andi
Djuanna Daeng Maliungan yang bertempat di desa Tuwung, Kabupaten Barru,
Sulawesi Selatan. Dalam suasana duka, mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta
istrinya Hasri Ainun, mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan para anggota
perwira TNI turut berduka cita dan hadir dalam acara pemakaman Andi Azis.
E. Pemberontakan RMS
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang
diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri
dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia
Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan
setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak
1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda.
Pemerintah RMS yang pertama
dibawah pimpinan dari J.H. Manuhutu, Kepala Daerah Maluku dalam Negara
Indonesia Timur (NIT). Setelah Mr. dr. Chris Soumokil dibunuh secara illegal
atas perintah Pemerintah Indonesia, maka dibentuk Pemerintah dalam pengasingan
di Belanda dibawah pimpinan Ir. [Johan Alvarez Manusama], pemimpin kedua [drs.
Frans Tutuhatunewa] turun pada tanggal 24 april 2009. Kini mr. John Wattilete
adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.
Tagal serangan dan anneksasi
illegal oleh tentara RI, maka Pemerintah RMS - diantaranya Mr. Dr. Soumokil,
terpaksa mundur ke Pulau Seram dan memimpin guerilla di pedalaman Nusa Ina
(pulau Seram). Ia ditangkap di Seram pada 2
Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh
pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12
April 1966.
Pemberontakan Andi Azis,
Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu, mereka tidak puas
terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI).
Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa
status mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota
APRIS mengatasi keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk
kembali ke pangkuan NKRI. Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat
ke Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang
diantaranya terror dan intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat, terlebih
setelah teror yang dibantu oleh anggota Polisi yang telah dibantu dengan
pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh seorang
kapten bernama Raymond Westerling yang bertempat di Batujajar yang berada di
daerah Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut bahkan sampai memakan
korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi pembunuhan dan
penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para biokrat pemerintah
daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI
akan menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat diingatkan
untuk menghindari dan waspada dari ancaman bahaya tersebut.
Pada tanggal 20 April tahun 1950,
diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT sehingga mendorong kabinet
NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet NIT dibubarkan dan
bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan yang di lakukan oleh
Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia Timur.
Akan tetapi Soumokil bersama para anggotanya tidak akan menyerah untuk
melepaskan Maluku Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indoneisa.
Bahkan dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL beserta
Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai
daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan yang berada di daerah
Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena anggota dewan
justru mengusulkan supaya yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku
Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu
terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah ancaman senjata.
Pemberontakan RMS yang didalangi
oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan
KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara
Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah
berhasil mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku
Tengah. Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena
dukungannya terhadap NKRI dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25
April 1950, para anggota RMS memproklamasikan berdirinya Republik Maluku
Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai
Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j.
Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F
Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z.
Pesuwarissa.
Tanggal 27 April 1950 Dr.J.P.
Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk daerah luar negeri dan
berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan
Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk
sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat
sebagai panglima tertinggi.
Dalam upaya penumpasan,
pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara diplomasi
perdamaian. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi
perdamaian yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan tersebut
ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah
terdiri atas para pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu
langsung dengan pengikut Soumokil.
Karena upaya perdamaian yang
diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah melakukan operasi
militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan Gerakan
Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang
menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah
pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun
akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950,
pemerintahan RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam
bahaya. Pada tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas
pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950,
seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang
akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut.
Dengan jatuhnya pasukan RMS yang
berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat perlawanan yang dilakukan oleh
pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat
Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS
berpindah ke Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat
sebagai presiden RMS tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan
RMS lainnya melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian
mendirikan sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan di pengasingan
(Government In Exile).
Pada Tahun 1978 anggota RMS
menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di gedung pemerintahan
Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan oleh beberapa kelompok
yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok Bunuh Diri di Maluku
Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah merampas kereta api dan
menyandera 38 penumpang kereta api tersebut.
Pada tahun 2002, pada saat
peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara pengibaran
bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap oleh aparat
kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka tidak
menerima penangkapan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum yang
berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur Maluku beserta Kepala
Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 15
orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana pengibaran bendera RMS
tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus dilakukan, dan pada tahun
2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat dari
pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah
naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan
tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
F. Pemberontakan PRRI-Permesta
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI), dan PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan
Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi
Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade.
Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB.
Hal ini memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit
Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi
kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa
daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya
pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan
tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.
Ketidakpuasan tersebut akhirnya
memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng yang berada di
daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini diprakarsai oleh
Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama dengan
ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX
Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat
itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi
ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng
ini bertendensi politik, maka KASAD melarang perwira-perwira AD untuk ikut
dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan
tanggapan dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur
Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan
pembangunan secara maksimal (Djoened, 2010).
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan
Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya
membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (Kabinet PRRI).
Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden
Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal
10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan
pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan
kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang
konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945
serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan
tersebut antara lain (a) mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan
mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno, (b) mendesak pejabat
presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet
Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis),
(c)
mendesak kabinet baru tersebut
diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang,
(d) mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi,
(e) Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka
Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak,
PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya. Pada saat
pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari
PERMESTA dan rakyat setempat. Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada
di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam
Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT
VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok
PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua
kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa
pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan
Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor
Gerungan.
Tujuan dari pemberontakan PRRI
ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya memperhatikan pembangunan negeri
secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada pembangunan
yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Taufik Abdullah, 2012).
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan
untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan
nada paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat
memberontak. Hal tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI
adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai
pemberontak, hal ini merupakan anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI
ingin membenahi dan memperbaiki sistem pembangunan yang dilakukan pemerintah
pusat, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan Republik Indonesia.
Karena ketidakpuasan PRRI terhadap
keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI membentuk dewan-dewan daerah yang
terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda. Pada tanggal 15
Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana
menterinya. Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat
Indonesia bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan
gerakan PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat
raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan
bahwa pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi
tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI.
Terjadinya pemberontakan
PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk mendesak Kabinet Djuanda dan
Nasution supaya menindak tegas pemberontakan yang dilakukan oleh organisasi
PRRI/PERMESTA tersebut (Dahlan. 1994). Kabinet Nasution dan para mayoritas
pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaya pemberontakan tersebut untuk segera di
musnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk
pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya
perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI
memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan
Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman
instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.
Pada awal bulan Maret, pasukan
dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah pimpinan Kolonel
Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan itu
dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan
Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-ladang
minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958,
daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke
pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai
dan selanjutnya Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan
daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak
pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan yang berada di daerah
tersebut.
Untuk melancarkan penumpasan
terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan Operasi
Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958 dan
operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA
diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut
adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara
Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal
29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961,
para tokoh-tokoh yang bergabung dalam gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.
Pemberontakan yang dilakukan oleh
gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar terhadap hubungan dan politik luar
negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat terhadap pemberontakan
tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika menjadi tidak
harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti
benar dengan jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot
bernama Allen Pope pada tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota
Ambon. Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya
memiliki perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya.
Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI
dengan menjadikan wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan
PRRI. Begitu pula dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan
Taiwan juga mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.
Akibat dari pemberontakan ini,
pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk menumpas pemberontakan
yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan pertumpahan darah dan jatuhnya
korban jiwa baik dari TNI maupun
PRRI. Selain itu, pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan
rasa trauma di masyarakat Sumatera terutama daerah Padang.
G. Pembrontakan G30S/PKI
Peristiwa G30S merupakan puncak kemelut politik,
dari pertikaian kekuatan-kekuatan politik yang bersumber pada pertentangan
(konflik) ideologi yang telah berlangsung sebelumnya. Ideologi menjadi sumber
konflik, mengingat dalam sejarah kepartaian di Indonesia, partai tumbuh dan
berkembang berdasarkan pada ideologi tertentu. Di penghujung pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin, tiga kekuatan politik hadir dipentas perpolitikan
Indonesia. Tiga kekuatan tersebut adalah Soekarno sebagai sosok yang memegang
kekuasaan, Militer-TNI AD sebagai penjaga kedaulatan negara yang sekaligus
memiliki peran sosial-politik, dan PKI sebagai kekuatan politik yang memiliki
basis masa cukup kuat dan sebagai satu-satunya kekuatan politik yang mampu
mengimbangi kekuatan militer. Munculnya tiga kekuatan politik tersebut, merupakan
sebuah proses panjang dari pertikaian kekuatan politik yang bernuansa ideologis
dalam setiap periode pemerintahan, dari Demokrasi Liberal menuju Demokrasi
Terpimpin, kemudian bermuara pada tragedi berdarah peristiwa G30S.
Sekitar pada tahun 1960-1963, diwarnai
dengan aksi-aksi sepihak yang dilakukan PKI. Aksi sepihak di daerah-daerah,
memaksa orang-orang PKI harus berhadapan dengan TNI-AD, orang-orang PNI, NU,
dan kelompok Islam lainnya. Diawali dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) 1960, kedua Undang-undang tersebut
mengatur tentang hak dan pengelolaan atas tanah. Melalui kedua UU tersebut, PKI
dan organisasi masanya khususnya Barisan Tani Indonesia (BTI) memobilisasi kaum
petani untuk menghantam tuan tanah, yang kemudian oleh lawan-lawannya disebut
“aksi-aksi sepihak”. Sebagian besar aksi sepihak dilakukan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur (Taufik Abdullah, 2012).
Selanjutnya, konflik tidak
sebatas pada persoalan tanah, konflik meluas akibat perbedaan identitas budaya
antara PKI dengan lawan-lawanya, karena pemilik tanah di daerah ada dari
kalangan NU atau PNI, sehingga aksi-aksi sepihak ditujukan terhadap pemilik
tanah dari NU atau PNI. Konflik terus meluas tidak hanya tentang
siapa mempunyai apa, dan berapa banyak bisa
didapat, melainkan lebih tentang klaim siapa yang bermoral tinggi
(Budiawan,2004:122) Kemudian dengan jargon-jargon politiknya PKI menyebut para
pemilik tanah di desa-desa dengan “setan desa” sedangkan mereka yang duduk
dalam perusahaan negara disebut dengan “setan kota”. Aksi-aksi sepihak yang
dilakukan akhirnya harus berhadapan dengan aparat teritorial Angkatan Darat dan
ormas-ormas Islam yang secara asasi antikomunis, yang menyebabkan suhu politik
di daerah semakin memanas. Kondisi politik menjadi semakin memanas dengan adanya usulan angkatan ke-5.
Gagasan angkatan ke-5 yang pada
awalnya dilontarkan Soekarno dalam pidatonya di depan siswa Lemhanas, yang
dihadiri juga oleh semua panglima angkatan. Dalam ceramah itu, Bung Karno
mengatakan bahwa pada waktu berkunjung ke Shanghai, Perdana Menteri RRC Chou En
Lai memberitahukan di RRC terdapat empat angkatan, yaitu Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angakatan Laut dan Milisi. Dijelaskan milisi adalah rakyat yang
dipersenjatai dan sangat efektif bagi pertahanan negara (Katoppo, 2000:36).
Gagasan tersebut mendapat
sambutan hangat dari PKI, karena sesuai dengan strategi PKI untuk menggalang
kekuatan secara militer. Sesuai dengan konsep politik yang dianut oleh D.N.
Aidit, PKI menetapkan jalan revolusioner, di samping parlementer, sebagai upaya
mewujudkan kekuatan komunis Indonesia. Upaya PKI untuk memiliki kekuatan
bersenjata, dilaksanakan dengan cara membentuk kekuatan di luar militer, yaitu
kekuatan dari buruh dan tani (Katoppo, 2000:37-38). Hal ini sesuai dengan
konsep Angkatan ke-5 yang telah diusulkan PKI. Usulan pembentukan angkatan ke-5
mendapat tantangan keras dari TNI-AD. A Yani secara tegas menolak pembentukan
angkatan ke-5, dengan alasan tidak efisien karena sudah ada Hansip (Pertahanan
Sipil). Walaupun di negara-negara komunis kaum buruh dan tani dipersenjatai, A
Yani bependapat bahwa hal itu tidak perlu diterapkan di Indonesia (Katoppo,
2000:39). Ketegasan A Yani, menunjukkan kekompakan TNI-AD terhadap PKI, baik
Nasution maupun A Yani memiliki sikap sama menentang PKI. A Yani bahkan menegaskan “mulai saat ini, kita tidak akan mundur
selangkahpun terhadap PKI” (Nusa Bakti, 1999:97) Di tengah-tengah konflik yang semakin memuncak
antara TNI-AD dengan PKI, mucul Dokumen
Gilchrist, sebuah dokumen yang isinya memojokkan TNI-AD.
Dokumen Gilchrist, berupa sebuah surat yang
diketik pada formulir yang biasa digunakan oleh Kedutaan Besar Inggris di
Jakarta, dengan nama pembuat surat yaitu Sir Andrew Gilchrist, Duta Besar
Inggris (1963-1966) untuk Indonesia, tetapi tanpa tanda tangan. Inti dari isi
dokumen tersebut seolah-olah telah terjadi hubungan kerjasama antara Angkatan
Darat dengan Inggris (Our local Army).
Surat tersebut diterima Soebandrio, dan kemudian diserahkan pada Soekarno. Pada
tanggal 26 Mei 1965 diadakan rapat yang dihadiri oleh panglima keempat
angkatan, dalam rapat tersebut Soekarno menanyakan pada A.Yani, adakah anggota
Angkatan Darat yang memiliki hubungan dengan Inggris dan Amerika, secara tegas
dijawab tidak ada oleh A.Yani. Demikian juga halnya dengan pertanyaan Presiden
Soekarno tentang Dewan Jenderal, yang juga secara tegas menyatakan tidak ada
hubungan. Pihak TNI-AD mencurigai bahwa dokumen tersebut yang membuat PKI untuk
memojokan posisi TNI-AD, meski sampai sekarang tidak diketahui siapa sebenarnya
pembuat dokomen tersebut. Melalui pertemuan dengan Soekarno dan beberapa
panglima, masalah Dokumen Gilchrist sudah
dijernihkan, namun masalah tersebut dijadikan rumor oleh PKI untuk meniupkan isu tentang Dewan Jenderal yang akan mengadakan
cup atas bantuan CIA. Isu tersebut menjadi isu politik yang amat strategis
untuk menyerang TNI-AD, sampai meletusnya peristiwa G30S.
Puncaknya terjadi pada malam 30
September 1965. Terjadi penculikan para jendral. Dari peristiwa tersebut
membuat ketujuh jendral tersebut meninggal dunia. Setelah peristiwa puncak
tersebut, muncul berbagai pandangan dan saling melempar tanggung jawab mengenai
siapa dalang dibalik peristiwa kejam tersebut. Terjadi pergolakan hebat setelah
hari – hari tersebut. PKI yang dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab
mendapat tekanan yang luar biasa. Namun demikian Presiden Soekarno tetap
menghimbau rakyat untuk tetap bersatu dan tidak termakan fitnah. Dalam sidang
paripurna Kabinet Dwikora di Bogor Presiden Sukarno menegaskan pendiriannya,
sebagai berikut :
a. Mengutuk pembunuhan buas terhadap
para perwira Angkatan Darat yang telah diangkat sebagai pahlawan revolusi.
b. Menyatakan segala duka atas hilangnya pahlawan revolusi tersebut.
c. Tidak membenarkan pembentukan Dewan Revolusi.
d. Dibutuhkan suasana tenang dan
tertib untuk mengambil tindakan seperlunya terhadap oknum-oknum dan semua pihak
yang ikut serta dalam peristiwa 30 September dan untuk mencari penyelesaian.
e. Di samping itu agar supaya kita
jangan kehilangan akal dan tidak tahu apa yang harus kita perbuat untuk
melanjutkan dan menyelamatkan revolusi khususnya terhadap ancaman Nekolim yang
sudah tentu akan dilaksanakan jika revolusi Indonesia menjadi kacau balau.
f. Untuk itu Presiden menegaskan
agar jangan kita dikemudikan oleh peranan perorangan oleh tindakan – tindakan
yang membikin kehidupan bangsa terpecah-pecah membikin Angkatan Bersenjata kita
terpecah belah. Ini memang yang dikehendaki dan ditunggu-tunggu oleh Nekolim.
Pelajaran dari masa lampau ialah bahwa gontok-gontokan antara kita – selalu
diikuti oleh serangan dari pihak Nekolim.
Himbauan Presiden Soekarno sudah tidak lagi mampu
untuk menenangkan gejolak masyarakat yang pada masa itu tersulut emosi oleh
peristiwa tersebut. Terjadi sebuah perpecahan di masyarakat, PKI dianggap
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Masyarakat secara luasa menuntut
dibubakarkannya PKI, tuntutantersebut yang sering dikenal dengan Tritura.
Bubarkan PKI, Perombakan kabinet Dwikora, dan
turunkan harga pangan. Tuntutan tersebut akhirnya didengar dan kemudian
presiden Soekarno akhirnya mengambil sikap dengan tujuan untuk mengamankan
pemerintahan. Soekarno mengeluarkan surat perintah guna pengamanan
Pemerintahan, yang sampai saat ini dikenal sebaga Surat Perintah Sebelas Maret
(SUPERSEMAR).
Supersemar dimandatkan pada Soeharto yang kemudian
menjadi senjata TNI untuk kemudian mampu dengan leluasa memberantas apa yang
telah menjadi ancaman sebuah bangsa meskipun harus menggunakan cara – cara yang
subversif, termasuk pemberantasan PKI.
H.
Rangkuman
Setelah saudara mempelajari dan membaca modul di atas dapat disarikan
materi sebagai berikut :
1. Lahirnya separatisme yang
mengancam integrasi bangsa adalah dilandasi faktor kepentingan. Dan dari
beberapa organisasi sepratisme tersebut memiliki perbedaan dan kepentingan.
Faktor kepentingan ini yang dimaksud adalah kepentingan kelompok, kepentingan
lokal(daerah). Pemberontakan – pemberontakan yang didasarkan pada kepentingan
daerah antara lain APRA, Andi Azis, dan RMS. Disamping faktor kepentingan
gerakan separatisme pemberontakan juga dilatarbelakangi faktor ideologi seperti
misalnya pemberontakan yang dilakukan DI/TII dan PKI Madiun, serta G30S/PKI.
2. Latar belakang lahirnya gerakan
separatisme disebabkan adanya kelompok atau individu yang lebih mengutamakan
kepentingan kelompok dan individu dibandingkan kepentingan nasional, tidak bisa
menghargai perbedaan budaya dan ideologi, tidak bersedia menyelesaikan
permasalahan atau mengambil keputusan melalui kegiatan musyawarah dan mufakat, namun
lebih didasarkan pada tindakan secara sepihak atau pribadi, tidak menghargai
dan menerima serta melakukan apa yang sudah menjadi kebijakan nasional.
Upaya
yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam menumpas gerakan – gerakan
sparatisme diantaranya adalah, Kesigapan TNI dalam menumpas gerakan – gerakan
tersebut seperti yang dilakukan oleh TNI dalam menumpas pemberontakan PKI
Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI.
Disamping itu dukungan masyarakat Indonesia terhadap tindakan – tindakan yang
dilakukan oleh TNI didalam menumpas gerakan tersebut dengan demikian rakyat
seluruh Indonesia pada dasarnya sangat mendukung dan mempertahankan tegaknya
kedaulatan NKRI dan ini seara moral mendukung apa yang dilakukan oleh TNI.
0 Komentar